Masa Depan Telco???


Pembicaraan hangat para intelektual fakultas ekonomi beberapa lalu membuat saya tertarik untuk membuat rangkumannnya. Topiknya sangat menarik yaitu tentang masa depan Telco,

Berawal dari kasus bagus di Harvard, Genetech dan Roche, adalah perusahaan-perusahaan yang mirip kondisinya seperti Telkom dan Telkomsel. Roche ngotot ambil alih saham Genetech yang sudah terlanjur dijual. Jika mengacu kasus tersebut, apakah saham TSel perlu di buyback oleh Telkom???

Singtel kemungkinan besar tidak akan mau melepas salam Tsel dan itu memang seninya (perjuangannya “Management is art and science”). Indonesia sekarang menjadi pasar sasaran yang potensial, apalagi untuk seluler, mengingat negara kita terpisah oleh lautan dan daratannya pun macet. Kondisi tersebut mungkin menjadi pertimbangan baik Singtel maupun Qatar Telecom untuk mempertahan saham Tsel dan Indosat.

Mari kita lihat kasus lain, Aqua misalnya yang go private, marketnya 35.000 nego hampir 9 tahun (2001-2010) akhirnya deal di harga 500.000 per lembar saham. Jadi hampir 16 kali harga pasarnya (seakan2 pembelinya rugi padahal nilai intrinsiknya hampir sebesar 5.000.000 per lembar saham). Justru karena pembelinya memiliki informasi yang lebih lengkap setelah mengakuisisi sekitar 72% (jika tidak keliru, cek) saham aqua sebelumnya oleh Danone. Dari bisnis plan danone yang baru, intrinsik valuenya loncat luar biasa karena ke depan itu perang tidak hanya tentang energi tetapi juga tentang penguasaan air. Bisakah Telkom melihat peluang bisnis Telco ke depan? Getting better or worse? Sepertinya ada dampak multiplier. Itu pendekatan kalkulasi matematis angka biasa tetapi jelasnya kita memang tidak tahu.

Tidak ketinggalan hot, topik “the dead of simcard” juga dibicarakan. Perspektifnya perebutan dominasi di DNA Ecosystem, sebelum GSM autentifikasi itu melalui hardware yang embedded di seluler. GSM memisahkan identifikasi subs dari perangkat yang terus terang dari sisi bisnis menjadi penyebab cepatnya adopsi GSM. Seluler berbasis teknologi CDMA IS95 baru belakangan meniru simcard. Terpisah subs dan perangkat membawa perangkat jadi fashionable yang memenangkan GSM terhadap CDMA. CDMA 2000 sudah full simcard, thanks to NSA maka peta kekuatan di DNA Ecosystem bakal bergeser ke device plus network. Simcard ternyata vurnerable karena kunci encripsunya bisa di bobol. Dengan deciphering simcard, sama juga NSA memiliki database seluruh encryption kunci di dunia GSM. Device plus operator (network) jadi punya common ground untuk bersatu, karena security issue. Mengenai kemudahan beralih operator, itu bukan isu, karena kita punya multi simcard. Multi simcard memiliki karakterisik multi loyalitas. Ada yang core, ada yang periferal.

E-simcard membuat security upgradable karena berbais software. Tetapi katanya e-simcard baru available di iPhone 7 dan atau samsung S6 (?) yang standar bersama (dibawah GSMA). Iphone katanya sudah lama punya nah masalah standarisasi ada dinamikanya tersendiri. Who controls what??

Operatornya makin terpuruk. Sudah belanja kapitalnya (capex) tinggi untuk bangun last-mile dan backbone, returnnya terseok2. Masalahnya operator itu pola pikirnya adalah “telco” termasuk juga Tsel. Jadi untuk keluar dari pola bisnis model “diluar Telco” sangat sulit. Di samping sulit, peran kepemimpinan menjadi penentu, namun jalan keluar yang diterima semua pihak harus tetap dipikirkan. Pola piker “bi-wired” dan “window dressing” sehingga memunculkan generasi yang suka per “bodong2an”. Poor Telco.

Namun yang menarik, Window dressing (hamper semua perusahaan Telco melakukan itu) padahal long term impactnya sangat berbahaya, pada suatu titik maka aka nada “pengorbanan” yang harus dibayar, ENRON, ING BARING adalah salah satunya. Dan window dressing, jika manage profit supaya lebih cantik maka ada tambahan kewajiban pajak yang harus dibayar cash. Tapi justru rezim window dressing paling disukai karena bisa mendongkrak nilai saham. The worstnya adalah Buble. Contoh Enron, Wordcom. Kalau tujuan memanage profit dalam arti kata untuk meunda profit karena tarhet ini tercapai its okay, tetapi kalau mempercepat pendapatan dan menunda biaya agar profitnya cantik bisa jadi its not okay, ini adalah pertanyaan menarik, kira2 mana yang dominan???

Window dressing kebanyakn yang terakhir, Pendapatan bodong yang beban adalah pasti, begitu pula dengan anak perusahaan. Untuk mendrongkrak harga saham? Berapa besar pengaruh profitabilitas terhadap harga saham? Sepertinya tidak signifikan.

Dari hasil riset, alasan perusahaan bangkrut ada 3 penyebabnya: 15% kegagalan karena gagal bersaing, 25% gagal melihat foresight bisnisnya dan 60% karena financial statement engineering. Intinya adalah remunerasi manajemen,

Balik ke Adam Smith:people respond to incentive. Buku pertama Adam Smith “The Theory of Moral Sentiments” yang theoryya jarang disinggung, karena untuk mencapai sesuatu, moral dan ethicnya didahulukan. Jadi dalam korporasi, kalau moral dan ethic yang didahulukan akan bertentangan dengan theory korupsi korporasi on behalf company or against company. On behalf company maka yang ditipu adalah kreditur dan pemegang saham minoritas, harga saham dijatuhkan pada level bawah di buyback atau divaluasi dengan sangat tinggi padahal proyeksiya bodong. Againts company adalah menggelapkan uang perusahaan dan theory tersebut bicara perilakukanya adalah manajemen. In practical, poin pertama yang sering terjadi contohnya adalah Bakrie dan Rostchilled.

Jika e-simcard digunakan, apa impact ke perusahaan telco (operator)? Bargaining powernya ada disana? Operator atau device maker?

E-simcard masuk era machine 2 machine (M2M). M2M adalah sebuah keniscayaan. M2M is B2B dan B2B2C. Lalu bagaimana foresight Telco Company??? Opposite to broadband paradigm, Telco juga pasti melihat future internet dimana number of connectivities is the business. Billion of new connectivites. Telco punya beragam intelligent agents. Device is for human. Other intelligent connections are for machines.

Secara grup, Qatar grup akuisisi bank kesawan, XL Group buka Maybank di Indonesia. Kira2 Telco grup perlu tidak mengakuisisi bank juga? Pos Indonesia punya anak perusahaan BWN (walalupun belum signifikan) dan akuisisi 22% sahambank sinar harapan Bali. Langkah BRI yang switch cost dari variable ke fixed pada Telco expensenya juga menarik. Karena sekarang Telco dikategorikan bisnis yang valuasinya BUBBLE. Future bisnisnya tidak jelas. Digital company yang sekarang besar adalah survivor dari bubble implosion tahun 90an.

Google tahun ini Luar biasa. Google is practically advertising company. Lapaknya tidak semua untung. Itu ditiru Telco, bangun lapak yang akeliatannya punya amsa depan. Kalau bicara device di API. Dan banyak Telco’s landing pages atau touchpoints. Untuk mengakusisi LEN, model partnershipnya tidak begitu meyakinkan, membangun ecosystem sih harus.

Problem yang dihadapi oleh Telkom Group juga karena Flag Carrier. Banyak langkah2 aksi korporasi yang segera jadi national issues. Yang paling anyar adalah case Mitratel. Telkom Group memang sudah akan merambah ke dunia per bankan. Tetapi banyak kendala antara lain dari industry per bankan sendiri.Jadi problemnya bukan hanyainternal paradigm tapi juga stakeholders paradigm. At the end of the day:”It’s too late. Contoh lain ketika mengakuisisi detik.com yag waktu itu masih berharga IDR 250 B. Akhirnya malah diambil CT dan sekarang menjadi satu backbone para group.

Case mitratel menarik juga (jika data ini benar). Kalau IPO nilai equitinya 5.5 T, SWAP Share 8,4 T. Jika karena mitratel dan TBIG identic bisnis, anggap saja selisih 35% sebagai value synergy dari bisnis itu atau dengan kata lain, ketidakefisienan mitratel jika masih digabung dengan Telkom sebesar 35 % (MUNGKIN).

Intisari dari diskusi hangat Grup WA FEB Telkom University (20 Juli 2015, 9:16-21:23 WIB)

 

 

 


Leave a Reply