Learning Organisation (Literature Review)


Berbagai definisi mengenai Learning organization telah lama muncul sejak dahulu. Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 3) mendefiniskan organisasi pembelajar sebagai:

“Organisasi dimana orang secara terus menerus memperluas kapasitas menciptakan hasil yang sungguh-sungguh mereka inginkan, dimana pola berpikir baru dan ekspansif ditumbuhkan, dimana aspirasi kolektif dibiarkan bebas, dan dimana orang terus menerus berupaya belajar bersama.”

Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 13) menjelaskan lebih lanjut bahwa

“Organisasi pembelajar tidak cukup semata belajar bertahan hidup (pembelajaran adaptasi) tetapi juga harus digabungkan dengan pembelajaran generatif/ pembangkitan, yang dapat meningkatkan kapasitas untuk menciptakan.”

 

Definisi learning Organization terus diperbaharui oleh banyak peneliti Menurut Marquardt (2002; 247) mendefiniskan learning organization sebagai:

“Learning organization: A company that learns effectively and collectively and continually transforms itself for better management and use of knowledge; empowers people within and outside of the organization to learn as they work; utilizes technology to maximize learning and production.”

 

Definisi tersebut menjelaskan bahwa organisasi pembelajar merupakan organisasi yang mampu belajar secara efektif, kolektif dan mampu melakukan transformasi secara terus menerus dalam perbaikan manajemennya, penggunaan pengetahuan, pemberdayakan anggota organisasi, dan pemanfaatan teknologi untuk memaksimalkan pembelajaran dan produksinya.

Lebih lanjut menurut Marquardt (2002; 20) menjelaskan karakteristik dari organisasi pembelajar sebagai berikut:

“the learning organization is the organization that is able to capture all these forces and systematically synergize them will be the one to advance up the evolutionary ladder to the next stage of organizational life.”

 

Pendapat Marquardt tersebut menekankan bahwa sebuah organisasi pembelajar harus mampu menangkap semua kekuatan-kekuatan baik kekuatan dalam diri organisasi maupun kekuatan diluar organisasi, dan mampu mengsinergikan kekuatan-kekuatan tersebut secara sistematis untuk naik ke tahap berikutnya dalam tangga evolusi kehidupan organisasi.

Definisi yang terbaru dari Robbins dan Judge, alih bahasa Diana Angelica (2008: 363) learning organization dianggap sebagai sebuah organisasi yang telah mengembangkan kapasitas untuk terus menerus melakukan penyesuaian dan perubahan.

Marquardt (2002: 55) mengatakan bahwa Paradigma mengenai media untuk mengembangkan kapasitas organisasi telah bergeser dari Training (Pelatihan) ke Learning (Belajar). Lebih lanjut Marquardt (2002: 55) menjelaskan bahwa:

“Training menekankan kepada transfer informasi atau keahlian satu arah dari instruktur yang ahli kepada peserta training, sedangkan dalam proses learning tidak hanya transfer skill dari para anggota organisasi tetapi juga terdapat penyerapan informasi, dan kebebasan untuk menciptakan cara-cara baru dalam mencari solusi masalah. Learning dapat terjadi dengan atau tanpa guru, dan juga pada berbagai tingkatan baik individu, maupun kelompok.”

Watkins dan Marsick dalam Rowden dan Conine (2005; 217) menyatakan bahwa pembelajaran di tempat kerja dibagi menjadi tiga yaitu formal learning (Training), Informal learning, dan incidental learning. Menurut Watkins dan Marsick dalam Rowden dan Conine (2005; 217) menjelaskan bahwa:

Formal learning (Training) merupakan kegiatan yang terencana yang biasanya mengintruksikan orang-orang untuk melakukan pekerjaan secara spesifik. Informal learning dapat terjadi dalam perusahaan tetapi tidak secara khusus dilakukan di ruang kelas dan tidak terlalu terstruktur, melainkan kendali pembelajaran ada pada si pembelajar itu sendiri, tidak ditentukan oleh organisasi. Sedangkan Incidental learning terjadi dalam kegiatan-kegiatan seperti trial and error experimentation atau interaksi antar personal.”

 

Marquardt (2002: 56) menggambarkan perbedaan antara Training dengan Learning dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbedaan Training dengan Learning

Perbedaan Training dengan Learning
Training Learning
1.      Proses training dilakukan dari luar oleh orang lain

 

2.      Training mengasumsikan pada kondisi yang relatif stabil

 

3.      Fokus pada pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, dan kinerja pekerjaan.

4.      Cocok untuk mengembangkan kompetensi dasar

 

 

 

5.      Menekankan pada peningkatan (improvement)

6.      Training belum tentu terkait dengan misi dan strategi organisasi

7.      Menekankan pada proses belajar yang terstruktur pada satu fokus.

 

1.      Learning terjadi dari dalam diri anggota organisasi yang termotivasi.

2.      Learning mengasumsikan perubahan secara terus menerus

3.      Fokus pada nilai-nilai, perilaku, inovasi, dan hasil.

 

4.      Learning membantu organisasi dan individu belajar bagaimana belajar dan menciptakan solusi-solusi baru

5.      Menekankan pada terobosan

 

6.      Learning selaras dengan visi organisasi

 

7.      Learning menekankan proses belajar yang berorientasi pada masa depan dan berjangka panjang

Sumber: Marquardt, Building The Learning Organization, (2002; 56)

Dari table2.1 dapat dijelaskan bahwa salah satu perbedaan antara training dan learning menurut Marquardt (2002; 56) yaitu

“Training merupakan proses peningkatan kapasitas seseorang yang dilakukan dengan bantuan orang lain (instruktur), sedangkan learning merupakan proses pembelajaran yang muncul dari dalam diri seseorang yang termotivasi.”

Lebih lanjut dijelaskan oleh Marquardt (2002: 56) bahwa perbedaan antara training dan learning dalam hal penilaian terhadap lingkungan sebagai berikut:

“Paradigma training mengasumsikan bahwa kondisi lingkungan organisasi relatif stabil, sedangkan dalam paradigma learning menganggap bahwa lingkungan organisasi cenderung selalu mengalami perubahan secara terus menerus.”

Perbedaan dalam hal output antara training dan learning menurut Marquardt (2002: 56) yaitu:

“Training lebih menfokuskan pada output berupa pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, dan kinerja pekerjaan, sedangkan learning lebih fokus kepada nilai-nilai, perilaku, inovasi dan hasil, sehingga dengan learning akan menciptakan anggota organisasi yang mempunyai perilaku belajar dan inovasi yang berasal dari dalam dirinya, hal ini yang kemudian mendorong learning lebih menekankan pada terobosan ketimbang peningkatan (improvement).”

Sedangkan kaitannya dengan pencapaian visi, misi dan strategi organisasi, Marquardt (2002: 56) menjelaskan bahwa

Learning dibangun secara selaras dengan visi, misi dan strategi organisasi.Hal ini berbeda dengan training dimana training belum tentu terkait dengan visi, misi dan strategi organisasi. Dengan menciptakan learning yang berdasarkan pada tujuan pencapain visi, misi dan strategi berarti akan memastikan bahwa organisasi berjalan pada jalur untuk mencapai visi, misi, dan strategi organisasi tersebut.”

Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica (2008: 363) menjelaskan bahwa organisasi pun sama seperti manusia yang perlu belajar. Lebih lanjut pembelajaran organisasi dianggap sebagai syarat bagi kesinambungan eksistensi organisasi.

Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica (2008: 363) menjelaskan bahwa:

“Ada 2 macam pembelajaran organisasi yaitu pembelajaran lingkaran tunggal (single-loop learning) dan pembelajaran lingkar-ganda (double-loop learning). Sebuah organisasi dengan pembelajaran lingkaran tunggal (single-loop learning) jika mendeteksi sebuah kesalahan maka proses koreksinya mengandalkan rutinitas masa lalu dan kebijakan saat ini. Sedangkan organisasi yang menggunakan pembelajaran lingkar-ganda (double-loop learning) maka jika menemukan suatu kesalahan akan dikoreksi dengan cara-cara yang mencakup modifikasi tujuan, kebijakan, dan rutinitas baku organisasi.”

Dalam kaitannya dengan perbedaan organisasi pembelajar (Learning organization) dengan Pembelajaran organisasi (Organizational learning) Marquardt (2002; 56) menjelaskan bahwa:

“Organisasi pembelajar berbeda dengan Pembelajaran organisasi. Organisasi pembelajar mempunyai cakupan yang lebih luas dari pembelajaran organisasi. Organisasi pembelajar fokus kepada sistem, pinsip-prinsip, dan karakteristik dari organisasi yang belajar, sedangkan yang dimaksud dengan pembelajaran organisasi lebih fokus kepada bagaimana proses pembelajaran dalam organisasi terjadi yang mencakup proses-proses membangun dan menggunakan pengetahuan. Sehingga pembelajaran organisasi merupakan salah satu aspek dari sebuah organisasi pembelajar.”

Menurut Ortenblad (2004; 129) menyatakan bahwa sebuah organisasi pembelajar harus mempunyai empat aspek yaitu learning at work, organizational learning, developing a learning climate, dan creating learning structures.Lebih lanjut Ortenblad (2004; 129) berpendapat bahwa hanya organisasi-organisasi yang menerapkan keempat aspek tersebut yang dapat dikatakan sebagai learning organization.

Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995;6) ada lima syarat untuk membentuk sebuah organisasi pembelajar yang kemudian disebut dengan The Fifth Diciplines, yaitu antara lain;

  1. Personal Mastery (KeahlianPribadi)

Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 136) Keahlian pribadi merupakan disiplin dalam pertumbuhan dan belajar personal Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 137) mengatakan bahwa orang dengan keahlian pribadi yang tinggi akan secara terus menerus memperluas kemampuan mereka untuk menciptakan hasil-hasil yang benar-benar mereka harapkan.

Lebih lanjut menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 138) bahwa orang dengan keahlian pribadi yang tinggi memiliki beberapa karakteristik dasar yaitu mereka memiliki suatu perasaan khusus akan tujuan yang terletak dibelakang visi dan tujuan-tujuan mereka. Sehingga menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 139) mengatakan bahwa orang dengan keahlian pribadi yang tinggi lebih memiliki komitmen, lebih berinisiatif, memiliki rasa tanggung jawab yang lebih luas dan lebih mendalam terhadap pekerjaan mereka.

Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 170) bahwa:

Dalam organisasi keahlian pribadi dapat dorong dengan menciptakan suatu iklim organisasional yang mendukung anggota organisasinya untuk mencapai visi pribadi mereka melalui pengembangan-pengembangan penguasaan pribadi anggota organisasi.”

Kemudian menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 170) mengatakan bahwa:

iklim organisasi seperti ini akan memperkuat keahlian pribadi dalam dua cara, yaitu pertama, akan menciptakan pandangan anggota organisasi bahwa pertumbuhan pribadi benar-benar dihargai dalam organisasi, dan yang kedua, sejauh individu memberikan respon pada apa yang ditawarkan maka dengan melakukan pengembangan pribadi sekaligus akan memberikan “on the job training” yang vital bagi anggota organisasi untuk keahlian pribadi.”

 

  1. Mental Models (Model Mental)

Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 8) Model mental merupakan asumsi yang sangat melekat, yang berpengaruh pada bagaimana orang memahami dunia dan mengambil tindakan. Widodo (2007: 45) menyatakan bahwa

“Model mental merupakan disiplin belajar yang terus menerus melakukan perenungan, pengklarifikasian, dan perbaikan atas gambaran-gambaran internal seseorang tentang dunia dan melihat bagaimana hal tersebut membentuk tindakan dan keputusan orang tersebut.”

Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 154) menganggap bahwa

“Dalam organisasi pembelajar model mental diperlukan dalam merumuskan asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tepat untuk digunakan sebagai landasan cara berpikir maupun cara memandang berbagai permasalahan dalam organisasi.”

Lebih lanjut menurut Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 154) bahwa dalam pembentukan model mental organisasi juga diperlukan ketrampilan dalam menemukan prinsip dan nilai-nilai bersama.

  1. Shared vision(Visi bersama)

Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 210) mengatakan visi bersama muncul dari visi pribadi anggota organisasi, sehingga dalam membangun visi bersama, organisasi secara terus menerus mendorong para anggotanya untuk membentuk visi pribadi mereka.

Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 210) mengatakan bahwa dalam kenyataannya visi pribadi seseorang biasanya termasuk juga dimensi yang menyangkut keluarga, organisasi, masyarakat, dan bahkan dunia. Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 211) juga mengatakan bahwa Ketika anggota organisasi saling membagi suatu visi bagi sebuah organisasi, tiap orang melihat gambarannya sendiri mengenai organisasi dalam cara yang paling baik.

Lebih lanjut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 210) menjelaskan bahwa

“Jika orang tidak mempunyai visi mereka sendiri maka yang dapat mereka lakukan hanya memasukan milik orang lain sehingga tidak pernah ada komitmen. Sedangkan orang yang memiliki perasaan kuat mengenai arah pribadinya dapat bergabung bersama untuk menciptakan suatu sinergi yang kuat terhadap apa yang mereka benar-benar kehendaki.”

Menurut Widodo (2007: 69) mengatakan bahwa

visi bersama dibangun dari visi-visi pribadi anggota organisasi mengenai gambaran masa depan yang ingin dicapai, yang kemudian diyakini dan disepakati sebagai visi milik bersama karena seluruh anggota organisasi mempunyai andil dalam perumusan dan pembentukannya.”

 

  1. Team learning(Pembelajaran Tim)

Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 235) Pembelajaran tim merupakan proses penyearahan dan pengembangan kapasitas sebuah tim untuk menciptakan hasil yang mana anggota organisasinya benar-benar inginkan. Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 9) mengatakan bahwa

Ketika tim benar-benar belajar, mereka tidak hanya menghasilkan hasil yang hebat tetapi anggota organisasinya secara individu juga tumbuh lebih cepat dibanding dengan bentuk pembelajaran lainya.”

Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 236) mengatakan bahwa disiplin pembelajaran tim melibatkan penguasaan praktek dari dialog dan diskusi. Menurut Senge alih bahasa Nunuk Adiarni (1995; 10) Dialog memungkinkan kelompok menemukan suatu pandangan yang tidak dapat dicapai secara individual.

Menurut Widodo (2007: 73) pada dasarnya tim pembelajaran merupakan proses peningkatan kapasitas tim sehingga tercipta hasil-hasil perwujudan dari keinginan dan kerjasama tim.

  1. System Thinking (Berpikir Sistemik)

Senge dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 155) mengatakan bahwa

“disiplin berpikir sistemis merupakan ketrampilan untuk memahami struktur hubungan antara berbagai faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi eksistensi organisasi, ketrampilan untuk berpikir integratif, ketrampilan untuk berpikir komprehensif, serta ketrampilan untuk membangun organisasi yang adaptif.”

Widodo (2007: 48) menjelaskan bahwa

“berpikir sistemik merupakan kerangka konseptual yang membantu anggota organisasi untuk melihat suatu hal dengan secara menyeluruh sehingga penekanannya lebih fokus kepada kerangka pikir yang saling berkaitan.”

Widodo menekankan bahwa berpikir sistemik menuntut anggota organisasi untuk melihat suatu fenomena atau masalah sebagai suatu pola keseluruhan secara lebih jelas. Sehingga berpikir sistemik disebut dengan disiplin untuk melihat secara keseluruhan.

Lebih lanjut Widodo (2007: 48) mengatakan bahwa

“berpikir sistemis juga merupakan paradigm yang memberikan penekanan pada suatu pola perubahan (pattern of change) sehingga cara pandang manusia bukan berarti pada cara pikir yang statis, melainkan kepada cara pikit yang dinamis dan sistemis.”

 

Marquardt (2002: 26) mengembangkan dimensi-dimensi Learning organization dari Peter M. Senge dengan berbeda. Marquardt mengganti 2 dimensi dengan dimensi baru yaitu Self Directed Learning dan Dialoque. Menurut Marquardt (2002: 26) kelima dimensi learning organization merupakan lima ketrampilan kunci yang diperlukan untuk memulai dan memaksimalkan pembelajaran organisasi. Adapun kelima dimensi learning organization menurut Marquardt (2002: 26) yaitu sebagai berikut:

  1. Personal Mastery

Menurut Marquardt (2002: 26) dimensi Personal mastery menunjukan keahlian tingkat tinggi dalam penguasaan suatu bidang dan ketrampilan. Lebih lanjut Marquardt (2002: 26) menjelaskan bahwa untuk menumbuhkan keahlian pribadi diperlukan komitmen untuk belajar secara terus menerus agar dapat menciptakan keahlian, serta kemampuan untuk menerima tugas dan tanggung jawab dengan baik.

  1. Mental Models

Marquardt (2002: 26) menjelaskan bahwa model-model mental (Mental Models) merupakan asumsi-asumsi yang tertanam yang mempengaruhi pandangan serta tindakan anggota organisasi. Sebagai contoh pandangan suatu organisasi terhadap konsep pembelajaran atau pekerjaan maka pandangan tersebut akan mempengaruhi tindakan dan perilaku anggota organisasi dalam situasi khusus yang berhubungan dengan konsep-konsep tersebut.

  1. Self-Directed Learning

Menurut Marquardt (2002: 26) Self-Directed Learning diartikan bahwa setiap orang menyadari dan antusias dalam menerima tanggung jawab untuk menjadi seorang pembelajar. Lebih lanjut Marquardt (2002: 26) menjelaskan bahwa

“indikator-indikator dari Self-Directed Learning dapat dilihat dari kemampuan anggota organisasi untuk mengetahui gaya belajar mereka sendiri, kemampuan anggota organisasi untuk menilai kebutuhan dan kompetensi mereka sendiri, dan kemampuan melihat keterhubungan antara tujuan organisasi dengan kebutuhan pembelajaran.”

 

  1. Dialogue

Menurut Marquardt (2002: 26) dimensi dialog menunjukan tingkat yang tinggi dari komunikasi antara anggota organisasi. Marquardt (2002: 26) menjelaskan bahwa

“untuk menciptakan dialog diperlukan eksplorasi yang bebas terhadap isu-isu dan kemampuan anggota organisasi untuk mendengarkan dan menerima pandangan yang berbeda dari anggota organisasi yang lain.”

 

  1. System Thinking

Marquardt (2002: 26) mengatakan bahwa berpikir sistemik merupakan kerangka konseptual yang dapat membuat pola pikir anggota organisasi menjadi yang lebih luas, lebih jelas dan komprehensif.

Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 169) berpendapat bahwa:

“learning organization merupakanorganisasi yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, oleh karena itu sebuah organisasi pembelajar dituntut untuk dapat melakukan transformasi cara berpikir dan tranformasi model mental dari para anggotanya. Perubahan organisasi akan fundamental jika di dalam organisasi tersebut terjadi proses transformasi pengetahuan dari proses belajar individual menjadi human capital sebagai hasil proses belajar organisasional.”

Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 170-171) menyatakan bahwa organisasi pembelajar merupakan sebuah sistem, yang memiliki karakteristik-karakteritik utama antara lain:

  1. Organisasi pembelajar merupakan organisasi yang dibangun oleh masyarakat dewasa, yaitu kumpulan dari para karyawan yang memiliki kualitas sebagai manusia dewasa. Manusia dewasa diartikan sebagai individu yang memiliki kesadaran akan potensi intelektualnya dan sadar akan keadaan diluar dirinya, mampu melakukan penilaian secara objektif serta mampu menempatkan dan mengendalikan emosi dirinya secara humanis dan moralis.
  2. Organisasi belajar memiliki “habitat” belajar yang baik untuk dapat berkembangnya masyarakat yang dewasa, serta mampu mempercepat proses transformasi pengetahuan dari proses belajar individual menuju proses belajar organisasional.
  3. Organisasi pembelajar memiliki kemampuan transformasi pengetahuan. Transformasi pengetahuan ini diciptakan melalui mekanisme berbagi visi, berbagi model mental dan berbagi pengetahuan.
  4. Organisasi pembelajar memiliki moderator relasional belajar dan moderator infrastruktur belajar. Moderator relasional belajar berfungsi untuk meningkatkan kualitas jalur transformasi pengetahuan dari proses belajar individual menuju proses belajar organisasional. Sedangkan moderator infrastruktur belajar berfungsi untuk meningkatkan efektivitas proses belajar individual maupun proses belajar organisasional.
  5. Karakteristik terakhir dari organisasi pembelajar adalah kemampuan untuk menghasilkan human capital organisasi, yang merupakan modal untuk membangun kekayaan dan nilai tambah organisasi.

 

Marquardt (2002: 24-25) menyatakan bahwa dalam proses belajar organisasi terdiri dari berbagai subsistem belajar. Lebih lanjut Marquardt (2002: 24-25) menjelaskan bahwa Subsistem belajar mengacu pada tingkat dan jenis pembelajaran yang penting untuk pembelajaran organisasi dan ketrampilan-ketrampilan organisasi yang relevan.

Marquardt (2002: 24-25) menyatakan bahwa belajar merupakan subsistem inti dari organisasi pembelajaran. Menurutnya pembelajaran harus berlangsung di tingkat individu, kelompok dan organisasi. Ketiga tingkat dalam pembelajaran menurut Marquardt (2002: 24-25) dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pembelajaran Individu (Individual Learning)

Marquardt (2002: 25) menjelasakan pembelajaran tingkat individu sebagai berikut:

“Pembelajaran individu mengacu pada perubahan dalam ketrampilan, wawasan, pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai yang diperoleh melalui proses belajar sendiri, pembelajaran berbasis teknologi, dan proses pengamatan (observasi).”

  1. Pembelajaran Kelompok (Team Learning)

Menurut Marquardt (2002: 25) pembelajaran pada tingkat kelompok meliputi peningkatan pengetahuan, ketrampilan, dan kompetensi yang dicapai oleh orang-orang dalam suatu kelompok.

  1. Pembelajaran Organisasi (Organizational Learning)

Marquardt (2002: 25) menjelaskan pembelajaran pada tingkat organisasi sebagai berikut:

“Pembelajaran organisasi diwujudkan dalam peningkatan intelektual dan kemampuan produktivitas yang diperoleh melalui komitmen dan kesempatan-kesempatan untuk perbaikan terus menerus di seluruh organisasi.”

 

Metode dari pembelajaran organisasi menurut Marquardt (2002: 25) merupakan hal yang penting dan bernilai bagi learning organization. Menurutnya meskipun masing-masing tipe mempunyai kekhasan sendiri namun sering kali tumpang tindih dan saling melengkapi. Metode-metode dari pembelajaran organisasi menurut Marquardt (2002: 25) antara lain:

  1. Metode pembelajaran adaptif (Adaptive Learning)

Menurut Marquardt (2002: 25) Metode pembelajaran adaptif terjadi ketika kita merenungkan pengalaman masa lalu dan kemudian memodifikasi tindakan untuk masa depan.

  1. Metode pembelajaran Antisipasif (Anticipatory learning)

Marquardt (2002: 25) menjelaskan pembelajaran antisipasif sebagai berikut:

“Metode pembelajaran antisipatif merupakan proses memperoleh pengetahuan dengan cara membayangkan berbagai gambaran masa depan (sebuah pendekatan yang bergerak dari visi menjadi tindakan dan kemudian menjadi refleksi). Pendekatan ini digunakan untuk belajar berusaha menghindari hasil yang negatif dan pengalaman-pengalaman negatif dengan cara mengindentifikasi peluang masa depan yang terbaik dan menentukan cara untuk mencapai masa depan itu.”

  1. Metode pembelajaran tindakan (Action Learning)

Menurut Marquardt (2002: 25) Metode pembelajaran dengan tindakan ini berarti menyelidiki atau mempelajari dan kemudian merefleksikan dalam kenyataan pada saat ini. Marquardt (2002: 25) berpendapat bahwa dengan metode pembelajaran tindakan ini dapat menerapkan pengetahuan yang dapat mengembangkan individu, kelompok, dan organisasi.

Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 172) memberikan konsep tiga pilar sebagai konsep untuk menciptakan sebuah learning organization. Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 172) menyatakan bahwa:

“untuk menjamin terjadinya proses belajar dan proses transformasi pengetahuan dari hasil belajar individual menjadi disiplin organisasi pembelajar atau terjadinya proses institusionalisasi pengetahuan individu menjadi human capital organisasi diperlukan tiga pilar organisasi pembelajar, yaitu: (1) Pilar belajar individual, (2) Pilar belajar organisasional dan (3) Pilar jalur transformasi pengetahuan.”

Ketiga pilar organisasi pembelajar menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 172) tersebut dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pilar belajar individual

Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 173) menyatakan Pilar belajar individual berangkat dari konsep bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk belajar dan berubah baik secara fisik maupun mental.

Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 173) menjelaskan kemampuan berubah manusia sebagai berikut:

“Secara fisik manusia mengalami perubahan dari bayi, menjadi remaja hingga dewasa. Sedangkan secara mental manusia mengalami perubahan dari manusia yang sangat mementingkan diri sendiri (bayi atau remaja), berubah menjadi manusia yang dewasa yang mampu melakukan timbang rasa yaitu manusia yang mampu menyeimbangkan antara hak untuk memenuhi kepentingan sendiri dengan kewajiban untuk memenuhi kepentingan orang lain atau memenuhi kepentigan yang lebih luas yaitu masyarakat umum.”

 

Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 174) pilar belajar individual terbentuk ketika setiap manusia anggota organisasi mampu menjadi manusia dewasa. Manusia dewasa diartikan oleh Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 174) sebagai:

“manusia yang mengenal dirinya, mengenal kelemahan dan kekuatan dirinya, mengenal kapasitas dirinya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kapasitas dirinya, oleh karena itu ia akan mampu melakukan kontribusi terbaik untuk dirinya maupun untuk menciptakan kesejahteraan bagi organisasi, masyarakat dan lingkungannya.”

Lebih lanjut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 174) menjelaskan bahwa:

“Sebagai manusia dewasa, anggota organisasi akan mampu membangkitkan dan memberdayakan pengetahuannya sekaligus mampu membangun lingkungan yang sesuai untuk mengaktualisasikan dirinya.”

Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 174) menyatakan bahwa Manusia dewasa merupakan modal dasar untuk menghasilkan human capital organisasi. Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 174) dalam konteks organisasi pembelajar kualitas manusia dewasa dimanifestasikan oleh displin personal mastery.

Secara mendalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 173) menjelaskan proses pembelajaran manusia sebagai berikut:

“Manusia dibekali dengan unsur jasmani, pikiran dan kalbu sehingga manusia mampu melakukan olah pikir (single loop learning) dan olah kalbu (double-loop learning) sekaligus mampu merealisasikan pemikirannya dan akhirnya manusia akan mampu belajar memperbaiki dan meningkatkan kualitas pengetahuan, sikap dan perilakunya. Proses olah pikir dapat merubah cara pandang dan cara berpikir seorang manusia, walaupun masih menggunakan paradigma lama.”

Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 177) proses olah pikir terjadi dalam empat tahap proses belajar, yaitu:

  1. Proses kontemplasi (observasi)

Tahap kontemplasi merupakan tahap dimana manusia berusaha menangkap gejala atau mengumpulkan data tentang kondisi lingkungan maupun arah perubahan lingkungan dan juga tahap dimana manusia berhasil membangun citra dirinya.Tahap observasi ini merupakan tahap pembentukan pola imajinasi tentang permasalahan atau fakta yang manusia lakukan dengan menggunakan insting dan kesadaran yang dimiliki.

  1. Proses Refleksi diri

Refleksi diri merupakan tahap dimana manusia telah berhasil melakukan proses perenungan (kontemplasi), kemudian proses berlanjut untuk memahami informasi atau gejala dengan menggunakan pengalaman dan pengetahuan (kemampuan kognisi) yang dimilikinya.

  1. Proses perubahan cara pandang dan cara berpikir

Proses olah pikir dapat meningkatkan perubahan cara pandang dan cara berpikir dalam dua tingkatan pemahaman pengetahuan yaitu tingkatan “know how” yang berarti seseorang telah memahami bagaimana memanfaatkan atau mempraktekan pengetahuan barunya dalam kehidupan sehari-hari, dan tingkatan “know why” yang berarti seseorang telah memiliki pemahaman sistemik dan konteksual tentang sebuah pemasalahan sehingga ia memiliki cara pandang baru tentang permasalahan yang dihadapi walaupun nilai-nilai yang diyakinidan visi-nya tidak berubah.

  1. Proses aktualisasi diri

Aktualisasi diri merupakan tahap aktualisasi dari perubahan sikap atau cara pandang seseorang terhadap suatu permasalahan yang diakibatkan oleh pemahaman akan pengetahuan barunya, atau perubahan kualitas kedewasaan intelektual dan emosinya. Aktualisasi diri melalui proses olah pikir (single loop learning) akan meningkatkan kualitas personal masteryseseorang walaupun masih menggunakan model mental atau kerangka berpikir yang lama.

 

Sedangkan proses olah kalbu (double loop learning) menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 179) terjadi dalam empat tahap proses belajar, yaitu:

  1. Proses perubahan model mental dan visi pribadinya

Pada tahap ini pemahaman seseorang tentang suatu permasalahan telah dikombinasikan atau diintegrasikan dengan pengetahuan baru yang diperolehnya, sehingga menghasilkan peta kognisi baru. Dengan menggunakan cara pandang barunya seseorang mampu melihat permasalahan dari sisi berbeda sehingga ia memiliki pemahaman baru dari permasalahan yang dihadapi.

  1. Proses penyesuaian paradigma

Seseorang akan berhasil merubah paradigmanya ketika ia telah melakukan proses olah pikir yang dilengkapi dengan proses olah kalbu, sehingga ia memiliki cara pandang dan sekaligus cara berpikir yang sangat berbeda dari sebelumnya.

  1. Tahapan pengetahuan pada tingkatan paham – mengapa (Know Why)

Pada tahap ini seseorang telah memiliki kesadaran intelektual dan emosional yang lebih tinggi dimana seseorang mempunyai kesadaran baru yang lahir karena dituntun oleh kalbunya dan didorong oleh spiritnya. Dalam tahap ini seseorang menjadi lebih mampu dalam memahami akar permasalahan secara sistemik dan kontekstual dan juga lebih mampu dalam mengembangkan pengetahuan yang terkait dengan masalah-masalah baru yang dihadapi.

  1. Tingkatan peduli – mengapa (Cara – Why)

Pada tahap ini seseorang memiliki derajat pengetahuan yang lebih tinggi dari sekedar paham-mengapa. Dalam tahapan ini seseorang memiliki kepedulian untuk mempertanyakan paradigma lama dan berpikir menggunakan paradigm baru.

 

  1. Pilar Belajar Organisasional

Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 182) menyatakan bahwa

Pilar belajar organisasional berfungsi sebagai wadah untuk menfasilitasi masyarakat yang dewasa, yaitu kelompok manusia yang memiliki kompetensi yang beragam dan mampu melakukan kerjasama sehingga mampu melaksanakan proses berbagi visi, berbagi model mental, dan berbagi pengetahuan untuk disinerjikan menjadi disiplin organisasi pembelajar dan pada akhirnya ditransformasikan menjadi human capital organisasi pembelajar.”

Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 182) menjelaskan bahwa proses belajar organisasi identik dengan proses belajar individual dimana proses belajar melalui siklus belajar ganda, yaitu:

  1. Siklus organisasi pembelajar secara horizontal (single loop learning – olah pikir)

Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 182) menjelaskan bahwa olah pikir terjadi karena sebuah organisasi berhasil melakukan proses integrasi pengetahuan melalui mekanisme olah pikir yang merupakan kombinasi dari proses olah intelektual dan emosional.

Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 183) menyatakan bahwa:

“Siklus olah pikir organisasi terjadi jika para anggota organisasi berhasil membentuk kesepakatan bersama untuk merubah cara pandang dan cara berpikir sehingga diperoleh cara pandang baru tentang suatu masalah. Namun dalam tahap ini perubahan cara pandang dan cara berpikir organisasi ini masih didasarkan pada model mental dan spirit lama, sehingga perubahan perilaku organisasi pada tahap ini tidak secara mendasar atau dengan kata lain perubahan belum menjadi sebuah kebiasaan baru.”

 

Oleh karena itu hasil dari sebuah siklus olah pikir (single loop learning) organisasi ini menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 183) adalah sebuah proses perbaikan organisasi secara berkelanjutan yang terlihat dari adanya perbuahan-perubahan kecil secara terus menerus, akan tetapi tidak sampai kepada perubahan paradigma.

  1. Siklus organisasi pembelajar secara vertical (double loop learning – olah kalbu)

Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 182) menjelaskan bahwa olah kalbu terjadi karena sebuah organisasi berhasil melakukan proses integrasi intelektual, emosional dan spiritual secara simultan melalui mekanisme olah pikir dan olah kalbu. Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 184) menjelaskan bahwa:

“Pada siklus double loop learning/ olah kalbu, organisasi berhasil melakukan penyesuaian paradigma atau memperbaharui visi bersama organisasi. Pada tahap ini para anggota organisasi dianggap telah berhasil meningkatkan kualitas kedewasaan spiritual bersama sehingga proses berbagi model mental dan berbagi cara berpikir terjadi dengan mudah.”

 

  1. Pilar Jalur Transformasi Pengetahuan

Menurut Tjakraatmadja dan Lantu, (2006: 187) menjelaskan bahwa Pilar jalur transformasi pengetahuan mempunyai fungsi untuk mengintegrasikan, mengkombinasikan dan mengsinerjikan pengetahuan hasil belajar individual menjadi hasil belajar organisasi.

Kofman dan Senge dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 187) menyatakan bahwa Transformasi pengetahuan merupakan hal yang esensial karena tanpa adanya transfromasi pengetahuan kerja keras dalam proses belajar tidak akan menghasilkan nilai tambah terhadap organisasi.

Senge dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006: 187) mengatakan bahwa:

“Jalur transformasi pengetahuan diciptakan dari lima disiplin organisasi pembelajar yaitu personal mastery, shared vision, mental models, system thinking, dan team learning. Dari kelima disiplin belajar tersebut dapat diukur kualitas jalur transformasi pengetahuan.”

Marquardt, Michael J., (2002), Building The Learning Organization, second edition, Davies Black Publishing, Palo Alto

Rowden, Robert W., Conine, Clyde T., (2005), The Impact of Workplace Learning on Job Satisfaction in Small US Commercial Banks, Journal of Workplace learning – Emerald Group Publishing Limited, Vol. 17, No. 4, pp. 215-230

Tjakraatmadja, Jann Hidayat & Lantu, Donald Crestofel, (2006), Knowledge Management Dalam Konteks Organisasi Pembelajar, cetakan pertama, SBM – ITB (Sekolah Bisnis dan Manajemen – Institut Teknologi Bandung), Bandung, 40132

,

Leave a Reply