Kepuasan Kerja (Literature Review)


Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 99) mendefinikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Sehingga menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 99)

“Seseorang yang mempunyai tingkat kepuasan kerja yang tinggi berarti orang tersebut memiliki perasaan-perasaan positif terhadap pekerjaannya dan demikian juga sebaliknya jika seseorang merasa tidak puas dengan pekerjaannya maka orang tersebut memiliki perasaan-perasaan negatif terhadap pekerjaannya.”

 Dole dan Schroeder (2001) dalam H.Teman Koesmono (2005) mendefinisikankepuasan kerja sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya. Definisi tersebut menekankan kepuasan kerja dari sisi perasaan pegawai terhadap lingkungan kerjanya.

Definisi lain juga muncul dari Wexley dan Yuklalih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 129) yang menyatakan:

“Kepuasan kerja dalah cara seorang pekerja merasakan pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaannya.”

Ward and Sloane dalam H.Teman Koesmono (2005; 170), menyebutkan elemen-elemen dari kepuasan kerja yaitu antara lain:

  1. Hubungan dengan rekan (Relationship with colleagues)
  2. Hubungan dengan kepala departemen (Relationship with head of department)
  3. Kemampuan dan efisienasi kepala departemen (Ability and efficiency of head of department)
  4. Jam kerja (Hours of work)
  5. Kesempatan untuk menggunakan inisiatif (Opportunity to use initiative)
  6. Peluang Promosi (Promotion prospects)
  7. Gaji (Salary)
  8. Keamanan pekerjaan (Job security)
  9. Pekerjaan yang dilakukan (Actual work undertake)
  10. Kepuasan kerja secara keseluruhan (Overall job satisfaction)

Chang dan Lee (2007; 165) dalam penelitiannya membagi dimensi-dimensi kepuasan kerja dari Weiss, Feng dan Chen menjadi 2 dimensi kepuasan kerja yaitu Internal satisfaction dan Eksternal satisfaction. Menurut Chang dan Lee (2007; 165) menjelaskan kedua dimensi kepuasan kerja tersebut sebagai berikut:

“Internal satisfaction karyawan dapat dilihat pada nilai-nilai, rasa tanggung jawab, status sosial, posisi otonomi, dan harga diri yang muncul dari tugas mereka sendiri. Sedangkan external satisfaction karyawan dapat dilihat pada faktor-faktor seperti gaji, promosi, pujian atasan, dan interaksi dengan rekan dari pekerjaan.”

Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 110) menyebutkan elemen-elemen kepuasan kerja sebagai berikut:

  1. Pekerjaan itu sendiri

Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 119) seorang karyawan lebih menyukai pekerjaan yang memberi karyawan tersebut peluang untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan serta memberi beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik tentang seberapa baik kerjanya.Penjelasan tersebut menekankan bahwa karakteristik-karakteristik pekerjaan tersebut akan membuat pekerjaan karyawan menjadi lebih menantang secara mental.

Robbinsdan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 110) menjelaskan bahwa menikmati kerja itu sendiri hampir selalu merupakan segi yang paling berkaitan erat dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi secara keseluruhan. Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 110) sebagian besar karyawan lebih menyukai kerja yang menantang dan membangkitkan semangat daripada kerja yang dapat diramalkan dan rutin.

  1. Bayaran

Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 119) seorang karyawan selalu menginginkan sistem bayaran yang mereka rasa adil, tidak ambigu, dan selaras dengan harapan-harapan mereka. Sehingga jika karyawan merasa bahwa bayarannya sudah adil, maka akan tercipta kepuasan karyawan.

  1. Pengawasan

Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 119) menyatakan bahwaPerilaku atasan sebagai supervisi juga merupakan faktor penentu kepuasan yang utama. Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 119) Penelitian mengungkap bahwa kepuasan karyawan meningkat ketika atasannya merupakan orang yang pengertian dan ramah,memberikan pujian untuk kinerja yang baik, dan mendengarkan opini-opini karyawan. Selain itu,atasan yang mampu menunjukan minat pribadi dalam diri karyawan juga dapat meningkatkan kepuasan kerja.

  1. Peluang promosi kenaikan jabatan

Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 109) disamping faktor bayaran, karyawan cenderung tidak begitu puas dengan peluang promosi yang diberikan perusahaan.

Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 109) berpendapat bahwa alasan mengapa peluang promosi sering menjadi faktor yang menyebabkan ketidakpuasan karyawan dalam perusahaan tidak begitu jelas.

  1. Hubungan dengan rekan-rekan kerja

Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 119) Dengan rekan kerja atau kolega yang suportif individu mendapatkan sesuatu yang lebih daripada sekadar uang atau prestasi yang nyata dari pekerjaan.

Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 119) menjelaskan bahwa memiliki rekan-rekan kerja yang ramah dan suportif mampu meningkatkan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan untuk sebagian besar karyawan, kerja juga memenuhi kebutuhan interaksi sosial.

 

Menurut Wexley dan Yukl, alih bahasa Muh. Shobaruddin (2005;146) Sifat dari pekerjaan merupakan determinan utama dari kepuasan kerja. Menurutnya dimensi-dimensi dari pekerjaan itu sendiri yang menentukan kepuasan kerja seseorang terhadap pekerjaannya. Hackman dan Oldham dalam Wexley dan Yuklalih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 147) menyebutkan bahwa terdapat lima dimensi-dimensi inti dari sebuah pekerjaan, yaitu antara lain:

 

  1. Keragaman ketrampilan (Skill Variety)

Wexley dan Yukl alih bahasa Muh.Shobaruddin (2005; 147) menjelaskan bahwa keragaman ketrampilan merupakan tingkat dimana suatu pekerjaan menuntut berbagai jenis aktivitas dalam menyelesaikan peker jaannya, yang mencakup penggunaan jenis ketrampilan dan bakat pekerja. Menurut Hackman dan Oldham dalam Wexley dan Yukl alih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 148) bahwa:

“seorang pekerja lebih menyukai jenis pekerjaan yang lebih bervariasi sehingga tidak menjenuhkan, misalnya pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan banyak ketrampilan, dan penggunaan bakat-bakat yang relevan dengan identitas diri pekerja.”

 Identitas Tugas (Task Identity)

Menurut Wexley dan Yukl alih bahasa Muh.Shobaruddin (2005; 147) Identitas Tugas merupakan tingkat dimana suatu pekerjaan menuntut kelengkapan dalam suatu kesatuan dan setiap bagian pekerjaan dapat diidentifisir.Wexley dan Yukl alih bahasa Muh.Shobaruddin (2005; 148) menjelaskan bahwa seorang pekerja lebih menyukai pekerjaan yang dilakukan secara satu kesatuan, yaitu pekerjaan yang dikerjakan dari permulaan sampai dengan tercapainya hasil.

  1. Kepentingan pekerjaan (Task Significance)

Menurut Wexley dan Yulk alih bahasa Muh.Shobaruddin (2005; 147) kepentingan pekerjaan merupakan tingkat dimana suatu pekerjaan memiliki dampak penting bagi kehidupan baik dalam lingkungan organisasi maupun lingkungan luar.

  1. Otonomi (Autonomy)

Wexley dan Yulk alih bahasa Muh.Shobaruddin (2005; 147) menjelaskan bahwa otonomi merupakan tingkat dimana suatu pekerjaan memberikan kebebasan, kemandirian, serta keleluasaan subtansial bagi pekerja dalam menentukan prosedur yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan.

  1. Umpan Balik pekerjaan (Feedback from The Job itself)

Menurut Wexley dan Yulk alih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 147) bahwa

“umpan balik pekerjaan merupakan tingkat dimana dalam menyelesaikan aktivitas-aktivitas kerja yang dituntut oleh suatu pekerjaan memberikan konsekuensi pada pekerjaan mendapatkan informasi langsung dan jelas tentang efektivitas pelaksanaan kerjanya.”

 

Penjelasan Wexley dan Yulk tersebut menekankan bahwa seorang pekerja berharap bahwa informasi tentang efektifitas dari pekerjaan yang dilakukannya dapat diberikan kembali kepada pekerja sehingga dapat dijadikan umpan balik bagi pekerja untuk mengukur kemampuannya dan memperbaiki kinerjanya.

 

Terdapat beberapa teori yang membahas mengenai kepuasan kerja, yaitu antara lain:

  1. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy)

Menurut Locke dalam Wexley dan Yuklalih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 130) kepuasan atau ketidakpuasan kerja dengan sejumlah aspek pekerjaan tergantung pada selisih (discrepancy) antara yang diinginkan seorang pekerja dengan apa yang telah didapatkannya. Wexley dan Yukl alih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 130) menjelaskan bahwa teori ketidaksesuain menganggap seorang pekerja akan merasa puas bila tidak ada selisih antara apa yang diinginkan dengan apa yang telah didapat pada kenyataanya.

Menurut Locke dalam Wexley dan Yukl alih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 130) bahwa:

“ketidakpuasan akan muncul ketika semakin besar kekurangan dan semakin banyak hal-hal penting yang diinginkan seorang pekerja. Sebaliknya jika jumlah faktor pekerjaan yang dapat diterima secara minimal lebih banyak atau bahkan terdapat kelebihan lain yang menguntungkan misalnya upah ekstra dan jam kerja yang lebih lama, maka seorang pekerja akan sama puasnya bila terdapat selisih dari jumlah yang diinginkan.”

 

  1. Teori keadilan (Equity Theory)

Menurut Adam dalam Wexley dan Yuklalih bahasa Muh.Shobaruddin (2005; 131) bahwa teori keadilan menjelaskan kondisi-kondisi yang menyebabkan seorang pekerja menganggap adil insentif dan keuntungan dalam pekerjaannya.

Adam dalam Wexley dan Yukl alih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 131) menjelaskan bahwa dalam teori keadilan terdapat komponen-komponen utama untuk menjelaskan kondisi keadilan yaitu “input”, “hasil”, “orang pembanding” serta “keadilan” dan “ketidakadilan”.

Input merupakan usaha seseorang dalam bekerja (seperti: banyaknya usaha yang dicurahkan, jumlah jam kerja yang dilakukan) dan dapat juga berupa sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung pekerjaannya (seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, dan peralatan yang digunakan untuk pekerjaannya). Hasil merupakan sesuatu yang didapatkan seorang pekerja dari pekerjaannya yang dianggap bernilai, seperti: upah/ gaji, keuntungan sampingan, simbol status, penghargaan, dan kesempatan untuk berhasil dan mengaktualisasikan diri.Sedangkan “orang pembanding” yaitu orang-orang dalam organisasinya maupun organisasi lain, namun pembanding juga bisa dengan diri sendiri yaitu dengan membandingkan kondisi kerja saat ini dengan kondisi kerja sebelumnya.

Teori keadilan menganggap bahwa seorang pekerja akan menilai adil terhadap hasilnya dengan membandingkan hasil dengan input kemudian dibandingkan dengan kondisi yang ada pada “orang pembanding”.

Menurut Wexley dan Yukl alih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 131) teori ini memandang bahwa:

“seorang pekerja akan merasa adil jika rasio antara hasil dengan input adalah sama atau sebanding dengan rasio orang bandingannya, demikian juga sebaliknya jika perbandingan antara dua rasio tersebut dianggap tidak sebanding maka pekerja akan menganggap ada ketidakadilan.”

 

Wexley dan Yuklalih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 133) mengatakan bahwa:

“Ketidakadilan merupakan salah satu sumber ketidakpuasan kerja. Terdapat berbagai macam sikap pekerja dalam menghadapi kondisi keadilan dan ketidakadilan yang dirasakan dalam pekerjaannya, yaitu antara lain:

  1. Meningkatkan atau mengurangi input-input pribadi, khususnya usaha.
  2. Membujuk orang bandingannya untuk meningkatkan atau mengurangi input-input pribadinya.
  3. Membujuk organisasi untuk mengubah hasil perseorangan pekerja atau hasil orang bandingannya.
  4. Pengabaian psikologis terhadap input-input atau hasil-hasil pribadinya
  5. Pengesampingan psikologis terhadap input-input atau hasil-hasil orang bandingannya.
  6. Memilih orang bandingan yang lain.
  7. Meninggalkan organisasi”

 

 

  1. Teori Dua Faktor

Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008;227) mengatakan bahwa teori dua faktor yang dikemukankan oleh Frederick Herzberg menjelaskan bahwa

“Hubungan individu dengan pekerjaannya adalah mendasar dan bahwa sikap seorang terhadap pekerjaan bisa dengan sangat baik menentukan keberhasilan atau kegagalan.”

 

Teori dua faktor membagi komponen-komponen pekerjaan kedalam dua faktor yaitu

Menurut Herzberg dalam Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 227) mendefiniskan faktor hygienesebagai

“kondisi-kondisi yang melingkupi sebuah pekerja seperti kualitas pengawasan,imbalan kerja, kebijakan perusahaan, kondisi fisik pekerjaan, hubungan dengan individu lain, dan keamanan pekerjaan.”

 

Sedangkan faktor motivators menurut Herzberg dalam Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 228) merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti peluang promosi, peluang pengembangan diri, pengakuan, tanggung jawab, dan pencapaian.

Herzberg dalam Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008; 228) menjelaskan bahwa:

“Jika faktor-faktor hygiene memadai maka pekerja tidak akan merasa kecewa, namun bukan berarti merasa puas. Sedangkan jika faktor-faktor motivators memadai maka akan memberikan kepuasan bagi seorang pekerja.”

 

Wexley & Yuklalih bahasa Muh. Shobaruddin (2005: 156-157)dan Robbinsdan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 116-117) menyatakan bahwa tingkat kehadiran (absensi) dan turn over (perpindahan) dapat dijadikan prediktor ketidakpuasan kerja.

Menurut Wexley & Yukl alih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 157) Para pekerja yang tidak puas dengan pekerjaannya akan cenderung menyingkir pekerjaannya atau pindah, dibanding dengan para pekerja yang puas.

Lebih lanjut Wexley & Yukl, alih bahasa Muh. Shobaruddin (2005; 158) menjelaskan bahwa:

“Pengawasan yang lemah, kondisi-kondisi kerja yang tidak nyaman, kurangnya keamanan kerja, kompensasi yang tidak adil, kurangnya kesempatan untuk maju, konflik pribadi di antara pekerja, atau kurangnya kesempatan untuk memenuhi urutan kebutuhan yang lebih tinggi merupakan hal-hal yang menentukan penyebab-penyebab ketidakpuasan kerja.”

 

Menurut Robbin dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 112) terdapat beberapa konsekuensi ketidakpuasan kerja yang dilihatkan oleh karyawan. Konsekuensi tersebut terdiri dari empat respon karyawan, yaitu:

  1. Aspirasi (Voice)

Robbinsdan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 112) menjelaskan bahwa Aspirasi merupakan sikap dimana seorang karyawan secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi. Lebih lanjut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 112) menyatakan bahwa sikap karyawan yang aspiratif ini akan berusaha memberikan saran-saran perbaikan, mendiskusikan masalah-masalah untuk turut serta menyelesaikan masalah.

  1. Kesetiaan (Loyalty)

Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 112) Kesetiaan merupakan sikap karyawan yang secara pasif menunggu membaiknya kondisi organisasi dan berusaha membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman luar.

Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 112) menjelaskan bahwa walaupun sikap ini pasif namun karyawan yang loyal tetap optimis dan memberikan kepercayaan kepada organisasi bahwa organisasi melakukan hal yang benar.

  1. Pengabaian (Neglect)

Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 112) Pengabaian merupakan sikap dimana seorang karyawan secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, dan bersikap tidak peduli dengan organisasi.

Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 112) menjelaskan bahwa sikap pengabaian ini biasanya diperlihatkan dari tingkat absensi karyawan yang tinggi, tingkat keterlambatan karyawan yang tinggi serta kinerja yang menurun.

  1. Keluar (Exit)

Menurut Robbins dan Judge alih bahasa Diana Angelica, Ria Chayani, dan Abdul Rosyid (2008: 112) sikap “keluar” merupakan sikap dimana seorang karyawan memilih untuk meninggalkan organisasi dengan mengundurkan diri.

Wexley, Kenneth N., Yukl, Gary A., (2005), Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia, cetakan ketiga, PT. RINEKA CIPTA, Jakarta, 10210.

,

Leave a Reply