Apa Itu Perang ASIMETRIS


Perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra -geografi, demografi, dan sumber daya alam, dan pancagatra -ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang. [1]

Rujukan lain menyatakan, “Asymmetric warfare” can describe a conflict in which the resources of two belligerents differ in essence and in the struggle, interact and attempt to exploit each other’s characteristic weaknesses. Such struggles often involve strategies and tactics of unconventional warfare, the “weaker” combatants attempting to use strategy to offset deficiencies in quantity or quality. Such strategies may not necessarily be militarized.This is in contrast to symmetric warfare, where two powers have similar military power[citation needed] and resources and rely on tactics that are similar overall, differing only in details and execution. [2]

Indonesia sesungguhnya telah menjadi sasaran perang asimetris. Penyebaran berita, acara, dan pentas-pentas yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah merupakan contoh nyata adanya perang asimetris di Indonesia. Strategi ini tergolong murah tanpa mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah mengeruk uang rakyat, karena perang asimetris ini tidak menggunakan banyak senjata, cukup dengan menggegerkan media dengan Lady Gaga, isu provokatif stabilitas keamanan Negara sudah digoyang. Dengan digunakannya strategi asimetris oleh sebuah negara untuk melumpuhkan lawannya bukan berarti kekuatan konvensional tidak diterapkan lagi. Justru untuk mengantisipasi gagalnya upaya melemahkan suatu negara, pola perang kombinasi juga sering digunakan. Jadi hard power dan soft power digunakan secara cantik secara bersama, dengan kehebatan mind power di belakangnya.

Seorang pakar, Tamrin, dalam salah satu presentasinya yang berjudul “Perang Asimetris, Tanggapan dan Penajaman”, membahas mengenai ancaman asimetris di bidang sosial-budaya dan agama, menyatakan beberapa argumentasi bahwa yang pertama adalah tidak meratanya persebaran suku-suku di Indonesia. Seperti diketahui, di Indonesia terdapat 653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra hingga Jawa (kecuali Sumatra Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas. Sebaliknya di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni satu kota. Bahkan setengan dari jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini dapat menjadi ancaman disintegrasi. Ancaman lainnya, bangunan keras: demokratisasi, desentralisasi, dan pemekaran wilayah. Desentralisasi pada saat ini, kata Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran juga luar biasa. Di Lombok misalnya, dari sembilan menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernur-gubernur yang tidak berkinerja. Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan, konstitusi, negara dan agama. Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The Information Age Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak satu-satunya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun sekarang, negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak berkutik, yaitu terorisme lokal, fundamentalis agama dan suku.

Pakar lainnya, Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi “Asymetric Warfare Strategy”, memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan komunikasi terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak. “Sekarang ini, lini pertempuan akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan,” katanya. Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin yang memuncak di tahun 1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara alamiah. Justru, AS melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan negara-negara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological warfare. Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet.

Fahami lebih mendalam tentang perang asimetris, strategi dan penerapannya, sebelum semuanya menjadi terlambat. Karena waktu terus bergulir dan para aktor semakin banyak bergentayangan. Nasionalisme harus terus digelorakan, demi terjaganya keberadaan WNI yang bermartabat yang selalu ikut menjaga dan mempertahankan negara bangsanya agar semakin jaya dalam bingkai NKRI sampai kapanpun.

CATATAN Oleh : Kolonel Sus Drs. Mardoto, M.T. (Dosen Akademi Angkatan Udara).

 


Leave a Reply