Analisis Drama Theory Pada Film The Martian


1By Zati Woro

Film “The Martian” (2015) dibuka dengan pernyataan Every human being has a basic instinct: to help each other out…. This is so fundamentally human that it’s found in every culture without exception. Yes, there are assholes who just don’t care, but they’re massively outnumbered by the people who do. yang dinarasikan oleh Mark Watney (Matt Damon), yang menjadi tokoh utama dalam film bergenre drama petualangan sains-fiksi ini. Tesis bahwa setiap manusia memiliki insting alamiah untuk membantu satu sama lain inilah yang menjadi ruh bagi bangunan cerita dalam film besutan sutradara Ridley Scott.

Mark diceritakan tertinggal sendirian di planet Mars, karena dianggap tewas oleh lima kru ekspedisi Mars lainnya. Ia dihantam benda keras yang terbawa badai hebat Mars. Ia jauh terhempas. Di Bumi, NASA-pun mengumumkan kematian Mark dan melakukan pemakaman simbolik.

Bagaimana Mark bertahan hidup di Mars selama berbulan-bulan dan bagaimana ia kembali ke Bumi, merupakan fokus dari cerita film ini. Apabila disimpulkan, kira-kira begini: Yang membut Mark bertahan hidup dan kembali ke Bumi adalah sains, insting bertahan hidup dan insting dasar manusia yang cenderung membantu manusia lainnya.

Mengandalkan insting alamiah saja tidak cukup, Mark yang sempat pingsan setelah terlempar jauh oleh badai, tersadar dan mendapati dirinya sendirian di Mars. Dengan perutnya yang terluka, ia berjalan kesakitan menuju habitat (bangunan buatan beroksigen, berdaya listrik dan aman, tempat ia dan kru lainnya singgah selama di Mars).

Di habitat, ia menghitung persediaan makanan yang hanya cukup untuk 10 bulan. Sementara butuh 4 tahun waktu perjalanan kapal penyelamat dari Bumi ke Mars. Untuk itu, dia tak hanya mengandalkan insting bertahan hidupnya. Mark berada di Mars yang gersang, ekstrem dan minus oksigen. Memang tak ada alien-monster di sana, namun dalam film ini lingkungan Mars sendiri digambarkan lebih menyeramkan dari alien-monster. Untuk itu, mengandalkan insting bertahan hidup saja tak cukup, ia perlu mengandalkan sains untuk ‘mengatasi’ Mars.

Ia yang seorang botanis (ahli tanaman), mengandalkan keahliannya untuk menggandakan persediaan makanan yang hanya sampai 10 bulan menjadi berlipat hingga kapal penyelamat tiba di Mars. Ia memutuskan membuat ladang buatan di planet yang tanpa air itu, untuk menanam kentang.

Dengan persediaan yang ada, ia membuat alat pemroduksi air. Awalnya gagal, tapi kemudian berhasil. Dan dengan tanah gersang Mars yang digemburkan dengan air yang bersumber dari alat buatannya, kentang pun bertunas, berkembang dan dapat dipanen. Sebagian ditimbun untuk persediaan konsumsi, dan sebagian yang kecil ditanam kembali.

Atas keberhasilannya, ia bersorak dalam monolognya bahwa ia adalah botanis terbaik di planet Mars. Ya, film ini meskipun lebih dari separuh film menggambarkan bagaimana Mark yang sendirian bertahan hidup di Mars, namun tidak membosankan, karena Mark tak berhenti bicara lucu-segar di hadapan kamera jurnal hariannya dan tak jarang bersikap konyol.

Mark tak hanya mengandalkan kemampuan sains dalam ilmu botani saja, ia juga mengandalkan sains lainnya yang ia kuasai, untuk dapat bertahan hidup dan dapat berkomunikasi dengan NASA di Bumi untuk memastikan ia masih hidup.

Menyelamatkan Mark tak cukup mengandalkan sains. Mark pun positif dipastikan masih hidup oleh NASA dan Mark berhasil memanfaatkan bangkai mesin tua Pathfinder menjadi alat komunikasi sederhana dengan pihak NASA di Bumi yang kemudian dikembangkan menjadi alat komunikasi surel.

Melalui alat komunikasi itu, Mark diberikan informasi-informasi saintifik dari Bumi untuk mendukung ia bertahan hidup dan keluar dari Mars dengan selamat.

Bagaimana reaksi petinggi NASA ketika mengetahui Mark masih hidup? Awalnya mereka menganggap misi untuk menyelamatkan seorang astronot-botanis Mark Watney adalah misi yang buang-buang waktu dan uang.

Namun dua karakter sentral petinggi NASA yang humanis, Vincent Kapoor (Chiwetel Ejiofor) dan Mitch Henderson (Sean Bean), NASA pun secara legal memulai misi penyelamatan. Namun misi mengalami kegagalan dan kemudian secara resmi NASA memutuskan misi penyelamatan dihentikan.

Mitch secara ilegal tetap melakukan upaya untuk menyelamatkan Mark. Ia mengirimkan surel kepada tim ekspedisi Mars yang sedang dalam perjalanan menuju Bumi dengan memberikan rute dan cara yang memiliki kemungkinan untuk melakukan misi penyelamatan ke Mars.

Berkat ahli aero-dinamika yang menemukan rute singkat kembali ke Mars, dan secara hitung-hitungan saintifik memungkinkan misi itu berhasil, NASA secara resmi mendukung kembali misi penyelamatan.

Modal informasi dari ahli aerodinamika dan keputusan resmi NASA saja tidak cukup, butuh keputusan yang sangat humanis dari Kapten Melissa Lewis (Jessica Chastain) dan kru lainnya apakah mereka setuju kembali menyelamatkan Mark yang tertinggal di Mars, yang artinya mereka akan semakin lama meninggalkan keluarga mereka di Bumi. Mereka sepakat menjemput Mark.

Selain itu keputusan humanis NASA-nya negara China untuk memberikan bantuan bahan bakar dan mesin pendorong di satelit milik mereka untuk kapal Kapten Melissa, dkk. memungkinkan untuk berhasil menjemput Mark dan kembali ke Bumi.

Misi ambisius untuk menyelamatkan 1 orang di Mars ini pun dalam film digambarkan didukung oleh seluruh manusia di Bumi, dari berbagai negara. Seolah, film ini ingin mengatakan, bahwa sains saja tak dapat membawa Mark kembali ke Bumi, perlu insting humanis manusia yang cenderung ingin saling membantulah yang menggerakkan misi itu dijalankan dan berhasil. Sumber: (Hadi, 2015)

1

1

 

1


Leave a Reply